Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Space Iklan

Makan Siang Gratis, Bergizi dan Maslahah (Tela’ah Ushul Fiqih Transitif) Oleh: Prof. Dr. Ansari Yamamah, MA

Program makan siang gratis dan bergizi yang digagas oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, merepresentasikan langkah strategis dalam menghadirkan kebijakan publik yang tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi juga berakar pada orientasi kemaslahatan sosial. Di tengah tantangan multidimensi yang dihadapi generasi muda—mulai dari kerentanan gizi, ketimpangan akses pangan, hingga keterbatasan daya dukung keluarga—kebijakan ini muncul sebagai ikhtiar sistemik negara dalam menjamin hak dasar anak-anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Dari perspektif hukum Islam, inisiatif ini dapat dibaca sebagai pengejawantahan nilai-nilai maslahah mursalah, yakni kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, namun selaras dengan tujuan syariat (maqashid al-shari’ah). Melalui pendekatan ushul fiqih transitif, program ini tidak hanya dapat dianalisis sebagai kebijakan publik konvensional, tetapi juga sebagai bentuk kontemporer dari ijtihad sosial yang berdimensi maslahat lintas sektoral dan generasional.

Makan Siang Bergizi dan Maslahah
Program makan siang gratis dan bergizi yang dirancang pemerintah Indonesia merupakan inisiatif kebijakan publik yang mengandung nilai kemaslahatan tinggi, baik dari segi kesehatan, pendidikan, maupun pembangunan sumber daya manusia jangka panjang. Dalam kerangka hukum Islam, khususnya melalui pendekatan ushul fiqih transitif, kebijakan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ijtihad mu‘ashir (ijtihad kontemporer) yang berbasis pada maslahah mursalah—kemaslahatan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash, namun sangat relevan dan mendesak untuk diwujudkan dalam realitas sosial modern.

Dalam konteks pembangunan manusia berkelanjutan, program makan siang bergizi dapat diposisikan sebagai bentuk ijtihad kebijakan. Pemenuhan gizi anak sekolah menjadi prasyarat esensial bagi tumbuhnya daya pikir, kesehatan fisik, dan stabilitas psikososial yang kokoh. Ijtihad kebijakan ini patut dianalisis tidak sekadar dari aspek teknokratis dan ekonomi-politik, melainkan juga dari perspektif etika normatif dalam tradisi hukum Islam.

Kemaslahatan utama dari program ini tampak nyata dalam upaya memenuhi kebutuhan gizi dasar anak-anak usia sekolah. Menurut Prof. Dr. Hardinsyah, MS, pakar gizi masyarakat dari Institut Pertanian Bogor (IPB), kecukupan gizi pada anak usia dini dan sekolah memiliki korelasi langsung terhadap perkembangan otak, konsentrasi belajar, dan daya tahan tubuh. Ia menegaskan bahwa, “asupan gizi yang cukup dan seimbang pada anak sekolah merupakan fondasi esensial bagi pembangunan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.”

Pernyataan ini diperkuat hasil riset global yang menunjukkan bahwa intervensi gizi pada masa anak-anak dapat meningkatkan performa akademik dan menurunkan risiko stunting serta penyakit degeneratif di masa depan.

Jika ditinjau melalui lensa maqashid al-shari’ah, program makan siang ini menyentuh langsung pada tiga dari lima tujuan utama syariat: menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), dan menjaga generasi keturunan (hifz al-nasl). Pemberian makanan bergizi secara sistematis dan merata adalah bentuk nyata dari penjagaan jiwa dan akal, karena gizi berperan penting dalam fungsi kognitif serta kestabilan emosional anak. Lebih dari itu, program ini turut menjamin kelangsungan generasi mendatang yang lebih sehat dan kuat, yang merupakan manifestasi dari penjagaan keturunan secara struktural.

Pendekatan ushul fiqih transitif memandang bahwa nilai-nilai hukum Islam dapat bergerak secara transformatif dan adaptif terhadap dinamika sosial. Dalam konteks ini, negara berperan sebagai wali yang berkewajiban menghadirkan kebijakan publik yang bersifat preventif dan promotif terhadap kesejahteraan umat. Ketika suatu kebijakan terbukti secara empiris membawa manfaat luas dan tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat, maka kebijakan tersebut bukan hanya sah secara normatif, melainkan juga merepresentasikan kehadiran nilai-nilai Islam dalam ranah pemerintahan modern.

Lebih lanjut, ushul fiqih transitif membuka ruang epistemologis untuk mengafirmasi bahwa suatu kebijakan negara—selama mengandung nilai kemaslahatan universal, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama, dan menjawab kebutuhan kolektif masyarakat—dapat dikategorikan sebagai representasi dari kehendak syariat dalam realitas kontemporer.

Maka dari itu, program makan siang bergizi bukan hanya layak didukung secara kebijakan, tetapi juga dapat diposisikan sebagai wujud aktualisasi nilai-nilai Islam dalam tata kelola pemerintahan yang berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, program makan siang gratis dan bergizi bukan sekadar langkah kebijakan populis, melainkan sebuah inisiatif berlandaskan kemaslahatan nyata, yang dapat dipahami dan diperkuat secara argumentatif melalui pendekatan ushul fiqih transitif. Ia menjadi bukti bahwa antara ilmu gizi dan fikih, antara kebijakan publik dan nilai-nilai agama, terdapat ruang sinergi yang produktif untuk membangun masa depan bangsa yang sehat, cerdas, dan bermartabat.


Prabowo, Figur Mujtahid Kebijakan

Dalam khazanah hukum Islam, seorang mujtahid bukan hanya mereka yang menggeluti teks-teks keagamaan secara langsung, melainkan juga sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai syariat ke dalam realitas sosial secara kreatif, kontekstual, dan bertanggung jawab.

Dalam konteks negara modern, di mana kebijakan publik menjadi instrumen vital untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, peran mujtahid dapat diwujudkan oleh pemimpin negara yang menggunakan kapasitas intelektual, etis, dan strukturalnya untuk menghadirkan keputusan-keputusan yang berpihak pada kemaslahatan umat.

Dalam kerangka itulah, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dapat dikualifikasikan sebagai figur mujtahid kebijakan melalui ijtihad sosial-politik yang diwujudkan dalam program makan siang gratis dan bergizi bagi anak sekolah di seluruh Indonesia.

Program ini merupakan hasil dari bacaan strategis terhadap realitas sosial kontemporer yang ditandai tingginya angka malnutrisi, ketimpangan akses pangan, dan keterbatasan daya dukung keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi anak. Dengan memutuskan intervensi kebijakan yang konkret, sistematis, dan berskala nasional, Presiden Prabowo menunjukkan keberanian untuk berijtihad dalam wilayah kebijakan negara demi menjawab tuntutan zaman.

Ijtihad ini tidak sekadar bersifat administratif, tetapi membawa nilai kemaslahatan luas yang sejalan dengan maqashid al-shari‘ah: menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), dan menjaga generasi (hifz al-nasl).

Melalui pendekatan ushul fiqih transitif, yang memungkinkan perluasan makna dan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam wilayah kebijakan publik modern, tindakan Presiden Prabowo dapat dilihat sebagai realisasi dari ijtihad maqashidi—yakni ijtihad yang bertumpu pada upaya menghadirkan maslahat secara aktual di tengah masyarakat, tanpa terikat pada literalitas teks.

Dalam pengertian ini, Presiden tidak semata-mata menjadi pelaksana mandat konstitusi, melainkan juga pengemban tanggung jawab moral untuk melindungi kehidupan dan masa depan rakyat melalui jalur-jalur kebijakan yang substantif.

Kebijakan makan siang bergizi adalah bentuk ijtihad tanfidzi (ijtihad implementatif) yang mengintegrasikan dimensi etis, medis, dan sosial dalam satu paket kebijakan nasional. Ia bukan sekadar solusi logistik terhadap persoalan kelaparan, melainkan sebuah gerakan struktural untuk mengubah nasib generasi melalui instrumen negara.

Ketika kebijakan publik mampu menyeberangi batas sektoral dan menyentuh langsung kebutuhan dasar manusia dengan orientasi kemaslahatan, di situlah letak aktualisasi ijtihad kebijakan yang sejati—dan Presiden Prabowo telah mengambil posisi itu secara visioner.

Dengan demikian, Prabowo Subianto, melalui program makan siang gratis dan bergizi, tidak hanya tampil sebagai negarawan, tetapi juga sebagai mujtahid kebijakan yang menjalankan ijtihad sosial secara sistemik dan maslahatistik.

Dalam bingkai ushul fiqih transitif, kebijakan ini merupakan cermin dari kemampuan syariah untuk hidup dan relevan dalam struktur negara modern, melalui tangan para pemimpin yang mampu membaca zaman dan menjawabnya dengan tindakan bernilai etik, empiris, dan spiritual sekaligus..... (Guru Besar Sosiologi Hukum Islam UIN Sumatera Utara)

Posting Komentar

0 Komentar